Anshar Pun Dimuliakan: Tanggapan untuk Muhammad Abdullah Darraz
Tulisan Muhammad Abdullah Darraz, Tiga Argumen tentang Hadits “10 Sahabat Muhajir yang Dijamin Masuk Surga,” yang diunggah di IBTimes.Id tanggal 15 Februari 2020 menggugah lamunan saya. Betapa saya tidak terkejut, hadits tersebut, yang saya yakini shahih —bahkan dianggap final bagi mayoritas ulama hadits— digugat keotentikannya. Sontak saya bertanya, apakah benar hadits tersebut shahih?
Jangan-jangan hadits yang mengabaikan Kaum Anshar tersebut merupakan reproduksi kekuasaan kaum Quraish Muhajirin untuk mengukuhkan otoritas kekuasaannya setelah Nabi SAW wafat? Dalam tulisan tersebut Darraz menggunakan pisau analisis yang digunakan Syahrur.
Ada tiga argumentasi yang digunakan Syahrur untuk meruntuhkan otentisitas hadits tersebut, meskipun si penulis, Darraz, hanya risau dengan yang ketiga. Pertama, Syahrur menjelaskan bahwa Hadits tersebut bertentangan dengan Surah al-Hasyr (59): 9-10, sehingga layak dipertanyakan keotentikannya. Kedua, hadits itu digunakan kaum Quraish Muhajirin untuk menyingkirkan kaum Anshar secara sistematik dalam urusan politik pasca Rasulullah SAW wafat. Ketiga, terbukti bahwa pasca Rasulullah SAW wafat kepemimpinan umat Islam dipegang oleh kaum Quraish Muhajirin, mulai dari Khulafau Rasyidin hingga Dinasti Abbasiyah. Tulisan ini akan merespon tiga argumentasi Syahrur tersebut. Apakah argumentasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau tidak? Sebab, tiga argumentasi tersebut saling terkait, dan muaranya adalah mempertanyakan kembali otentisitas hadits tersebut.
***
Pertama, Syahrur rupanya menggunakan analisis struktural Levi Strauss yang dikenal dengan oposisi biner dalam membaca hadits tersebut. Oposisi biner adalah sistem dalam budaya yang membagi sesuatu menjadi dua bagian, yang saling memiliki hubungan. Dalam hal ini Syahrur ingin mempertentangkan antara Anshar dan Muhajirin. Bagaimana mungkin Nabi SAW hanya mengunggulkan kaum Muhajirin, padahal al-Qur’an juga memuliakan kaum Anshar (Surah Al-Hasyr (59): 9-10).
Dengan ayat inilah Syahrur ingin mengatakan bahwa hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. Sehingga layak untuk dicurigai ontentisitasnya. Namun, sepertinya Syahrur kurang cermat, sebab ayat ini justru menepis kecurigaan Syahrur, yang lugas mengatakan bahwa hadits ini dimunculkan sebagai upaya sistematis menyingkirkan kaum Anshar. Dalam ayat dijelaskan, “… Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” Jelas sekali ayat ini menggambarkan karakter kaum Anshar yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap kemuliaan kaum Muhajirin yang diungkapkan Rasulullah SAW. Ayat ini juga menjelaskan secara tersirat bahwa kaum Quraish Muhajirin memang memiliki keutamaan, salah satunya dalam kepemimpinan. Jadi, tuduhan bahwa kaum Quraish Muhajirin melakukan rekayasa politik, berasal dari kecurigaan Syahrur sendiri.
Kedua, untuk membantah pikiran Syahrur, Darraz sangat cerdas, dengan mengajukan konsep Makiy dan Madaniy untuk membaca hadits tersebut. Jika hadits tersebut diungkapkan Nabi di Makah, sebelum terjadinya hijrah, maka bisa jadi hadits tersebut shahih. Sehingga alasan Syahrur di atas menjadi tidak relevan lagi. Sayangnya dengan teori Makiy dan Madaniy, yang diajukan Darraz, justru malah menjadikan Rasulullah saw sebagai tersangka. Jika hadits ini benar-benar diungkapkan di Makah, berarti Rasulullah saw lah yang melakukan rekayasa politik dengan memberikan jaminan surga kepada aktor-aktor Quraish. Dalam penelusuran penulis, hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (Lihat Sunan Tirmidzi Hadits No 3680) dan Imam Ahmad (Lihat Musnad Ahmad Hadits No 1585). Jika diteliti lebih detail lagi semua perawi yang meriwayatkan hadits tersebut adalah penduduk Madinah. Jadi sangat mustahil Rasulullah saw punya kepentingan politik sebagaimana digambarkan di atas.
Ketiga, saya ingin menambahkan bahwa Syahrur terlalu tergesa-gesa (tepatnya gegabah) membaca hadits — membenturkan Muhajirin dan Anshar — dengan oposisi biner. Sebab, Levi Strauss saja menyadari tidak semua budaya dapat dibaca dengan oposisi biner. Surah Al-Hasyr (59): 9-10 yang digunakan untuk meruntuhkan otentisitas hadits tersebut justeru meletakkan dua kaum ini pada posisi sejajar tidak saling bertentangan. Keempat, Syahrur juga membaca hadits ini terlalu partikular, sempit, tanpa melihat hadits lain. Padahal, hadits hanyalah menyajikan sequences (potongan-potongan) peristiwa tentang Nabi SAW. Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman yang utuh dari suatu peristiwa atau masalah yang terdapat di dalam hadits harus dipahami hadits-hadits lain yang saling terkait. Inilah yang disebut al-jam’u wa taufiq di dalam kajian hadits. *** Hadits yang memuliakan kaum Anshar, yang tidak kalah bergengsi dengan jaminan 10 sahabat Muhajirin yang mendapat jaminan syurga juga diriwayatkan oleh Anas ra. “Tanda keimanan adalah cinta kepada kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar” (HR. Bukhari). Mengapa Syahrur tidak menggunakan hadits ini untuk mengeliminir Quraish Muhajirin? Lagi-lagi Syahrur terjebak dalam prasangkanya sendiri. Semoga tulisan ini menambah pertanyaan di pikiran saudara Darraz. Wallahu’alam.
*) Penulis adalah Dosen Ilmu Hadits Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.