Apakah Cerai Istri saat Haid Sah? Tela’ah suatu Hadis
*Penulis: Abdul Haqqi, Mahasiswa Ilmu Hadis, Universitas Ahmad Dahlan
Hadis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَعْقُوبَ الْكَرْمَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يُونُسُ قَالَ مُحَمَّدٌ، أَخْبَرَنِي سَالِمٌ : أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَخْبَرَهُ: «أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَذَكَرَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَغَيَّظَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ: لِيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا
Pengertian Mufradat
طَلَّقَ: diambil dari kata “Al-Itlaq” yang berarti melepaskan dan meninggalkan (an-Nawawi, 267). Dalam terminologi syariat, talak berarti memutuskan atau membatalkan ikatan pernikahan (Munandar, 13). Talaq sendiri menurut para ulama terbagi atas empat: haram, sunnah, wajib, makruh (Nawawi, 269).
فَتَغَيَّظَ: berasal dari kata gāẓa-yagīẓu yang artinya membuat marah. ulama membagi tingkatan marah menjadi 3 bagian: tinggi, sedang, dan rendah. Marah tingkat tinggi adalah, amarah yang menguasai seseorang sehingga tidak merasakan apapun, tidak mengetahui apa yang dikatakan dan tidak sadar apakah ia masih di bumi ataukah berada di awang-awang. Seseorang dengan amarah seperti ini maka perkataannya tidak berdampak hukum, baik yang terkait dengan talak, pemerdekaan budak, wakaf, akad jual beli dan yang lainnya. Kecuali yang berhubungan dengan hak-hak orang lain. Maka orang itu tetap dihukum jika menuduh orang lain berzina atau semisalnya, meskipun sebagian ulama menyatakan, Tidak ada hukuman had sebab menuduh berzina,jika kondisi marah itu muncul karena kecemburuan. Marah tingkat paling rendah, yaitu marah ini tidak berpengaruh apapun. Maksudnya, semua yang dia katakan, yang dia lakukan, dan yang dia putuskan tidak terkena hukum. Marah tingkat sedang yaitu seseorang yang marah, dan dia masih sadar dengan apa yang dia ucapkan, mengetahui apa yang diucapkan dan merasakan kondisinya, tetapi marah mengharuskannya mengucapkan apa yang dia ucapkan, seolah-olah ada seseorang yang menekannya untuk mengucapkan itu atau melakukan itu. (al-Utsaimin, 1223)
لِيُرَاجِعْهَا: Rujuk sendiri berasal dari bahasa arab yaitu raja‘a–yarji‘u–rujū‘an yang memiliki makna kembali atau mengembalikan. Rujuk secara istilah adalah mengembalikan status hukum perkawinan dengan penuh setelah terjadi talak raj‘i yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa idah-nya dengan ucapan tertentu. (Nur, 174).
Makna Global
Secara umum hadis ini berkenaan dengan anak Umar bin Khattab yaitu Abdullah bin Umar yang menceraikan istrinya ketika haid. Lalu Umar bin Khattab bertanya langsung kepada Rasulullah Saw mengenai perihal ini. Rasulullah Saw memerintahkan Abdullah bin Umar untuk merujuk istrinya kembali.
Ketika itu Rasulullah Saw marah ketika Abdullah bin Umar menceraikan istrinya saat haid, maka Rasulullah Saw menyuruh untuk segera merujuk istrinya karena menceraikan istri saat haid adalah waktu yang dilarang. Keputusan Rasulullah untuk Abdullah bin Umar agar merujuk kembali adalah sah, karena perintah Rasulullah Saw saat itu adalah perintah yang benar sesuai syariat.
Hadis ini terdapat dalam shahih Bukhari nomor hadis 7160 kitab ahkam bab Hal yaqdi- alqadi aw yuftaa wa huwa ghadban?. Oleh karena itu hadis ini juga memiliki kesamaan secara lafal dan makna di dalam Shahih Bukhari di dalam kitab Ath-Talaq, Bab Qaulihi Ta’ala: Yaa Ayyuhanabiyyu ldzaa Thallaqtumun Nisaa’ a Fathalliquuhunna Li ‘Idilatihinna wa Ahsul I’ddah nomor hadis 5251, dan juga dalam Shahih Muslim dalam kitab Talak, bab Haramnya menceraikan wanita haid tanpa kerelaanya nomor hadis 2675 dll.
Syarah Shahih Bukhari oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsmaini
Dalil hadis ini berkaitan dengan pernyataan Ibnu Umar, “Mendengar laporan tersebut Rasulullah Saw langsung murka.” Hadis ini berkaitan dengan ketentuan seorang hakim apabila memutuskan sebuah perkara apakah sah? Maka ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama, keputusan sesuatu saat marah akan sah apabila diambil dalam keadaan marah yang tidak memengaruhi kejiwaan seseorang dan dalam waktu dan keadaan yang sah. Kedua, keputusan tersebut menjadi tidak sah apabila ia memutuskan suatu perkara saat terlarang. (Al-Utsaimin, 1228)
Syarah Shahih Bukhari (Umdah al-Qāri`) dan Syarah Shahih Bukhari (Fatḥ al-Bāri)
Riwayat Al-Kasymihani menyebutkan, kata ganti pada fīhi (kepadanya) kembali kepada perbuatan talak yang dilakukan oleh Ibnu Umar kepada istrinya. Sedangkan kata ganti pada lafazh ‘alaihi (atasnya) kembali kepada pelaku perbuatan, yaitu Ibnu Umar. (Al-‘Aini, 350). Hadis ini menjelaskan terkait larangan menceraikan istri ketika haid. Oleh sebab itu hadis ini dijelaskan juga di bab talak. Nabi Saw mengharamkan perilaku menceraikan istri saat haid, dan membolehkan perilaku menceraikan istri saat hamil. Karena haid memberikan pengaruh masa iddah, sedangkan menceraikan istri saat hamil tidak berpengaruh dalam memperlama atau mempersingkat masa iddah karena masa iddah berakhir dengan melahirkan. (Al-Asqalani, 346).
Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi
Berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar yang disebutkan di dalam bab ini. Dalil jumhur ulama adalah perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Ibnu Umar untuk merujuk isterinya, sekiranya talak tersebut tidak sah tentu tidak ada istilah rujuk. Apabila dikatakan, yang dimaksud dengan rujuk di dalam hadits adalah ruiuk secara bahasa yaitu kembali kepada kondisi pertama, bukan sebagai talak yang dihitung dari talak tiga .” Kami katakan, “Pendapat ini salah dilihat dari dua sisi.
Pertama, Bahwa memahami suatu kata sesuai makna hakekat syari’at lebih didahulukan dari pada memahami yang sesuai makna bahasa, sebagaimana yang ditetapkan dalam ilmu ushul fikih. Kedua, Bahwa Ibnu Umar dalam berbagai riwayat Muslim dan perawi lain menyatakan secara jelas bahwa ia menghitung talak itu sebagai talak satu.
Segenap ulama juga bersepakat bahwa bila suami telah mentalak isterinya, ia diperintahkan untuk merujuknya. Apabila ditanyakan, Di dalam hadits riwayat Ibnu umar ini di sebutkan bahwa dia diperintahkan untuk merujuk kemudian menunda talak hingga masa suci kedua setelah haid waktu terjadinya talak, lantas apa manfaat menunda talak tersebut? bisa diberikan dari dua sisi
Pertama, Agar rujuk tersebut tidak semata-mata untuk tujuan talak. Maka, isteri harus ditahan dalam jangka waktu di mana suami halal untuk mentalaknya. Suami menahannya agar terlihat manfaat dalam merujuk isteri. Ini adalah jawaban yang dikemukakan sahabat-sahabat kami. Kedua, Sebagai hukuman bagi suami dan cara untuk bertaubat dari kemaksiatan dengan cara merasakan kembali tindakan kesalahannya. (An-Nawawi, 89).
Pendapat Para Ulama
Jumhur Ulama
Segenap ulama bersepakat tentang keharaman mentalak isteri yang sedang haid tanpa ridhanya. Jika suami mentalaknya maka ia berdosa, talaknya sah dan ia diperintahkan untuk merujuk isterinya, berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar yang disebutkan di dalam bab ini. (An-Nawawi, 267). Sebagian penganut madzhab zhahiriyah mempunyai pendapat berbeda. Mereka berkata, “Talak tersebut tidak terlaksana, sebab suami tidak diizinkan untuk menjatuhkanya, maka ia seperti mentalak wanita asing (bukan isterinya).”
Ibn Qayyim al-Jauziyyah
Menurut beliau hadis tentang talak yang dilakukan oleh Ibnu Umar terhadap istrinya saat haid memiliki beberapa penjelasan terkait hadis ini yang berkaitan dengan talak saat haid. Beliau berpendapat, bahwa talak yang dijatuhkan kepada istri saat haid adalah talak yang tidak sesuai dengan hukum syara’. Karena, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menysriatkan perbuatan tersebut. Jika talak tersebut masih dilakukan, maka suami dalam keadaan berdosa karena talak tersebut haram dilakukan, dan status kedudukan istri yang d talak adalah tidak sah, sehingga istri yang diceraikan saat haid tidak perlu ber-iddah dengan talak tersebut. (Djawas, 21).
Ash-Shan’ani
Menurut beliau, pengharaman talak di dalam Islam sebenarnya terletak pada ada tidaknya faktor haid, apabila faktor haid itu hilang maka hilang pula penyebab pengharamannya, sehingga boleh menceraikan istri saat keadaan suci. (Rosnayani, 22)
Kesimpulan Hadis
- Perintah Rasulullah Saw kepada Abdullah bin Umar untuk segera merujuk kembali istrinya adalah perintah yang benar dan sah, meski Rasulullah Saw menyebutnya dalam keadaan murka. Karena itu seseuai syariat
- Rasulullah Saw melarang seorang hakim memutus perkara antara dua orang dalam kondisi marah, karena jelas tidak akan mampu memahami perkara dengan utuh dan juga penerapan hukumnya, sebagaiman sabda Rasulullah Saw : “Tiada talak (talak tidak jatuh) dalam kondisi marah.”
- Melakukan talak saat marah atau saat waktu yang dilarang melakukan talak, maka talak tersebut menjadi tidak sah
- Jika talak itu dijatuhkan oleh suami dalam keadaan emosi yang tidak tertutup akal pikirannya, maka talak itu pun juga tidak jatuh, karena tidak disaksikan oleh dua orang saksi. Bila talak itu dilakukan secara resmi dengan arti lengkap rukun dan syaratnya, maka talak itu jatuh. Talak yang jatuh satu kali atau dua kali dapat dirujuk oleh suami. Talak yang dilakukan di luar pengadilan, maka tidak sah talaknya.
- Suami dilarang mentalak isterinya pada masa suci pertama agar menjadi panjang masa kebersamaannya dengan isteri, barangkali ia menggaulinya sehingga menjadi hilang penyebab talak, lalu ia menahan isterinya
- Bahwa masa suci pertama dan masa haid sebelumnya sebagai waktu terjadinya talak dianggap sebagai satu quru’ sekiranya mentalaknya pada masa suci pertama maka ia seperti mentalaknya pada masa haid.
- Pendapat jumhur ulama sebagaimana yang disebutkan dalam syarah shahih Muslim bahwa ulama bersepakat tentang keharaman mentalak isteri yang sedang haid tanpa ridhanya. jika suami mentalaknya maka ia berdosa, talaknya tetap sah dan ia diperintahkan untuk merujuk isterinya, berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar
- Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi bahwa talak saat haid adalah tidak sah talaknya.
- Menurut As-Shan’ani bahwa talak dalam Islam terletak pada haid tidaknya seorang Istri, apabila saat haid maka haram ditalak, dan apabilah saat suci boleh untuk ditalak.