Benarkah Rasulullah Melakukan Tindakan Nepotisme? Sebuah Tela’ah Hadis
*Penulis: Azizah Putri Kharismawati, Mahasiswa Ilmu Hadis, Universitas Ahmad Dahlan
Hadis
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ – يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِينَارٍ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ: « بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، فَطَعَنَ النَّاسُ فِي إِمْرَتِهِ، فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنْ تَطْعَنُوا فِي إِمْرَتِهِ فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعَنُونَ فِي إِمْرَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ، وَايْمُ اللهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمْرَةِ، وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ، وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ .»
Menceritakan kepada kami Ismail- yaitu Ismail bin Ja’far- dari Abdullah bin Dinar, ia mendengar Ibnu Umar menceritakan bahwa suatu ketika Nabi mengutus sekelompok pasukan dan menjadikan Usamah bin Zaid sebagai pemimpinnya. Beberapa orang tidak setuju dan mencela penunjukan tersebut. (melihat reaksi yang negatif itu) Nabi lalu berdiri dan bersabda ” Jika kalian mencela kepemimpinannya (Usamah bin Zaid) berarti kalian juga mencela kepemipinan ayahnya (Zaid bin Haritsah). Demi Allah, sungguh dia Usamah layak menjadi pemimpin dan ayahnya termasuk orang yang paling yang aku cintai, dan sungguh, Usamah juga termasuk orang yang paling aku cintai setelah ayahnya.
Persoalan yang timbul dari makna tekstual dari hadis ini adalah, “apakah Nabi mengkritik orang yang tidak setuju dengan kepempinan Usamah hanya karena Nabi punya kedekatan dengan usamah?” bukankah itu berarti Nabi saw memutuskan sesuatu dengan sentimen pribadi? Bukankah itu pula tindakan Nabi ini bisa dikatakan sebagai tindakan Nepotisme (Nepotisme dalam KBBI: Kencenderungan untuk mengutamakan/menguntungkan sanak saudara (atau karib kerabat), terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah). Tulisan ini akan mencoba membahas persoalan ini dengan sederhana dan merujuk kepada penjelasan para ulama terkait hadis ini.
Makna Global Hadis
Usamah bin Zaid adalah mantan budak (pelayan) Rasulullah SAW, karena ayahnya, Zaid bin Haritsah adalah budak yang beliau miliki. Kemudian beliau memerdekakannya, sehingga statusnya adlah maula (mantan budak), begitupula anaknya, karena anak mantan budak juga statusnya sama. Rasulullah SAW sangat mencintai Usamah, sehingga saat beliau mengutus sebuah ekspedisi maka beliau memercayai Usamah sebagai panglimanya. Namun sebgaian kalangan mencelanya dan berkata, “Bagaimana mungkin seorang mantan budak memimpin orang-orang merdeka?!” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian mencela kepemimpinannya berati kalian juga mencela kepemimpinan bapaknya.” Yaitu Zaid bin Haritsah.
Sabda beliau, “Demi Allah, dia sangat layak memegang kendali kepemimpinan. Dan sungguh ayahnya (Zaid bin Haritsah) adalah sebagian orang yang paling kucintai. Dan dia (Usamah bin Zaid) juga sebagian orang yang paling aku cintai sepeninggalannya.” Dengan sabda ini beliau sangat mencintai Usamah dan Zaid. Isi hadis ini sangat cocok dengan judul bab yang ditulis, bahwa Rasulullah SAW tidak memerdulikan setiap kritik yang diarahkan kepada Usamah dan ayahnya. Dari sini, seorang imam wajib memilih seseorang yang paling cakap ilmu dan kerjanya. Jangan sampai ia mengangkat seseorang untuk suatu kaum yang di dalamnya terdapat seorang yang lebih baik darinya. Jika imam melakukan itu, meskipun yang diangkat adalah orang paling loyal kepadanya berarti ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum muslimin.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata dalam Al-Fath (13/180), sabda beliau, “Jika kalian mencela kepemimpinannya berati kalian juga mencela kepemimpinan bapaknya.” Maksudnya, jika kalian mencelanya maka aku beritahukan kepada kalian bahwa kalian juga telah mencela ayahnya. Dengan kata lain, jika kalian mencelanya maka kalian telah berbuat dosa, karena celaan kalian itu tidak benar,
sebagaimana kalian mencela kepemimpinan ayahnya. Padahal sangat jelas sekali bahwa ia sangat layak memangku jabatan itu dan ia juga berhak mendapatkannya, sehingga celaan kalian tersebut tidak berdasar. Karenanya tiada tempat untuk celaan kalian terhadap kepemimpinan anaknya dan celaan itu tidak akan digubris.
Dikatakan bahwa mereka mencela itu karena status Usamah sebagai mantan budak. Dikatakan pula bahwa yang mencela itu adalah orang-orang yang sudah dicap sebagai kaum munafik. Namun pendapat itu perlu ditinjau ulang, karena termasuk di antara para pencela itu adalah Ayyasy bin Rubi’ah Al-Makhzumi. Ia termasuk orang yang memeluk islam pada saat penaklukan kota Mekkah dan salah seorang sahabat yang mulia. Jadi, sabda beliau ini ditujukan kepada siapa pun yang mencela secara umum, baik pencela itu bersatu untuk mencela keduanya (Usamah dan Zaid) atau tidak. (Al-Utsaimin, 47)
Pendapat Para Ulama
Al Muhallab berkata, “Makna judul bab ini adalah orang yang mencela bila tidak tahu keadaan orang yang dicela lalu menuduhnya dengan hal-hal yang tidak ada padanya, maka celaan ini tidak diindahkan dan tidak pula diamalkan.” Dia mengaitkan judul bab ini dengan perkataan ‘orang yang tidak mengetahui’, sebagai isyarat bahwa orang yang mencela berdasarkan ilmu maka celaannya diperhatikan dan diamalkan. Tetapi bila celaan berkaitan dengan hal-hal yang mungkin benar dan mungkin keliru, maka dikembalikan kepada pandangan imam (pemimpin).
Di atas pandangan inilah diterapkan perbuatan Umar yang memecat Sa’ad meski sebenarnya Sa’ad bersih dari celaan yang ditunjukan kepadanya oleh penduduk Kufah. Sedangkan Muhallab menjawab, “Sesungguhnya Umar mengetahui dari ketidakadaan Sa’ad seperti yang diketahui Nabi SAW dari Zaid dan Usamah.” Maksudnya, sebab pemecatannya itu karena ada kemungkinan celaan itu benar.
Ulama lain berkata. “Pendapat Umar adalah menepuh kerusakan yang paling ringan. Menurutnya, pemecatan Sa’ad lebih ringan daripada fitnah yang disulut oleh sebagian penduduk negeri tersebut. Sementara Umar berkata dalam wasiatnya, ‘Aku tidak memecatnya karena kelemahan dirinya dan tidak pula karena khianat.”
Sementara Ibnu Al Manayyar berkata, “Nabi SAW memastikan akhir yang baik dalam pemerintahan Usamah. Sehingga beliau tidak peduli dengan celaan sebagian orang. Sedangkan Umar menempuh cara hati-hati karena tidak bisa memastikan seperti halnya Nabi SAW.” Imam Bukhari menyebutkan hadis Ibnu Umar tentang pengutusan Usamah. Penjelasannya sudah dipaparkan pada bagian akhir kisah wafatnya Nabi SAW dalam pembahasan tentang peperangan. (kalian mencela pemerintahannya maka sungguh kalian telah mencela pemerintahan bapaknya), kalimat ini maksudnya, jika kamu mencelanya dalam hal ini maka akan beritahukan bahwa kamu juga telah mencela hal serupa pada bapaknya sebelumnya. Makna selengkapnya, apabila kamu mencela pemerintahannya maka sungguh kamu berdosa karena hal itu, karena celaan kamu tidak benar sebagaimana dahulu kamu mencela pemerintahan bapaknya, padahal pemerintahan tersebut baik, bahkan dia berhak atas hal itu. Celaan kamu ini tidak memiliki landasan. Dengan demikian, celaan kamu terhadap anaknya tidak perlu dijadikan patokan.
Kesimpulan Hadis
Dapat disimpulkan bahwasanya kita tidak boleh mencela pemimpin, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “Jika kalian mencela kepemimpinannya berati kalian juga mencela kepemimpinan bapaknya.” Maksud dari kata tersebut adalah jika kalian mencelanya maka aku beritahukan kepada kalian bahwa kalian juga telah mencela ayahnya. Dengan kata lain, jika kalian mencelanya maka kalian telah berbuat dosa, karena celaan kalian itu tidak benar, sebagaimana kalian mencela kepemimpinan ayahnya. Padahal sangat jelas sekali bahwa ia sangat layak memangku jabatan itu dan ia juga berhak mendapatkannya, sehingga celaan kalian tersebut tidak berdasar.
Berdasarkan pada penjelasan para ulama mengenai hadis ini juga dapat disimpulkan bahwa tuduhan Nabi melakukan tindak nepotisme adalah tidak benar. Karena kritikan Nabi saw kepada pihak yang tidak setuju tidak hanya didasarkan oleh rasa cinta, tetapi juga karena ketidaksetujuan itu tidak terbukti dan tidak benar. bahkan jika dicermati lebih mendalam, justru Nabi saw menegakkan keadilan untuk semua kalangan. Sebab, salah satu alasan kenapa ada pihak yang tidak setuju dengan kepemimpinan Usamah dan ayahnya, Zaid, adalah karena mereka dulunya berstatus budak. Sehingga pembelaan Nabi saw adalah manifestasi keadilan yang menyeluruh dan penentangan sistem kelas dalam masyarakat Islam yang tidak adil.