Fikih Informasi Perspektif Muhammadiyah
Niki Alma Febriana Fauzi
(Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta dan Anggota Tim Fikih Informasi Muhammadiyah)
Maraknya berita hoax yang tersebar di media sosial tampaknya telah sampai pada titik kulminasi yang sangat mengkhawatirkan. Fenomena demikian sudah selayaknya menjadi perhatian semua elemen, termasuk dalam hal ini organisasi keagamaan di Indonesia. Sebagai bangsa berpenduduk mayoritas Muslim, suara agama yang disuarakan ormas keagamaan menjadi sangat berperan. Ia masih sangat efektif dan relevan untuk melakukan rekayasa sosial guna mendorong masyarakat ke arah yang lebih baik. Pada titik inilah, apa yang akan dilakukan Muhammadiyah dengan merumuskan Fikih Informasi menjadi langkah strategis. Fikih Informasi yang akan dimuktamarkan di Makassar akhir Januari 2018 ini merupakan bagian dari misi Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu yang mengajak umat Islam melakukan amar makruf nahi munkar.
Dalam perspektif Muhammadiyah, terminologi fikih tidak melulu dipahami sebagaimana ia dipahami oleh ulama klasik. Fikih dalam literatur klasik sering diidentikkan sebagai kumpulan hukum furu’ (cabang) berupa wajib, sunah, makruh, haram, dan lain sebagainya. Ini membuat fikih sering dianggap oleh banyak orang sebagai disiplin ilmu yang kaku, karena cenderung hitam-putih. Di lingkungan Muhammadiyah, terminologi fikih diperluas maknanya tidak hanya sekadar kumpulan hukum furu’, tapi juga himpunan dari banyak nilai dasar, kaidah dan prinsip dalam beragama. Menurut Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah), fikih semacam itu dibangun di atas tiga lapisan norma yang saling terkait satu sama lain, yaitu (1) peraturan-peraturan hukum konkret (al-ahkam al-farʻiyyah), (2) asas-asas umum (al-usul al-kulliyyah), dan (3) nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah). Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa suatu peraturan hukum kongkret itu berlandaskan kepada atau dipayungi oleh asas umum dan asas umum itu pada gilirannya berlandaskan kepada atau dipayungi oleh nilai dasar.
Nilai-nilai dasar adalah prinsip-prinsip universal agama Islam yang melandasi hukum Islam, seperti keadilan, persamaan, kebebasan, akhlak karimah, persaudaraan dan lain-lain. Nilai-nilai dasar ini dapat terus bertambah dan berkembang seiring kreatifitas mujtahid dalam menggalinya dari dua sumber utama hukum Islam, yaitu al-Quran dan Sunah. Dari nilai-nilai dasar itu diturunkan asas-asas umum hukum Islam. Dari asas umum itulah baru kemudian diturunkan peraturan hukum konkret.
Dalam konteks Fikih Informasi ada beberapa nilai-nilai dasar yang dapat dijadikan pedoman. Sebagai contoh adalah nilai dasar tabayun yang secara eksplisit digambarkan dalam al-Quran pada surat al-Hujurat ayat 6. Dari nilai dasar itu dapat diturunkan asas umum dalam kehidupan komunikasi media sosial berupa “transparansi dan klarifikasi berita.” Dari asas umum ini pada gilirannya diturunkan menjadi peraturan kongkret tentang larangan menyebarkan suatu berita sebelum diketahui validitas sumbernya.
Melalui paradigma fikih semacam itu, kita umat Islam akan lebih mudah menyelesaikan persoalan sosial, politik, ekonomi, dan budaya dari perspektif agama dengan lebih luwes dan tidak kaku. Perluasan makna fikih sebagaimana yang dilakukan Muhammadiyah ini, setidaknya memberikan kontribusi beberapa hal: pertama, mereorientasi wacana fikih yang selama ini telah bekembang. Dengan membangun nalar fikih berlandaskan tiga lapisan norma tersebut, fikih tidak akan lagi dikesankan sebagai disiplin ilmu yang rigid, karena di sana terdapat nilai-nilai filosofis dan asas umum yang melandasi kerangka berpikirnya. Kedua, menginterkoneksikan keilmuan Islam (religious studies) dengan keilmuan umum (non-religious studies). Dengan paradigma fikih semacam itu, penyelesain masalah yang selama ini dilakukan melalui satu kacamata keilmuan, akan dapat menemukan jawaban yang lebih komprehensif dengan diinterkoneksikannya satu disiplin ilmu dengan yang lain. Fikih Informasi ini adalah hasil interkoneksi antara keilmuan Islam dengan ilmu komunikasi/penyiaran, misalnya. Di sisi lain, Muhammadiyah juga telah merumuskan beberapa produk fikih yang lain, misalnya Fikih Anti Korupsi. Artinya persoalan korupsi dalam hal ini tidak dilihat dari perspektif hukum positif an sich, akan tetapi juga ditelusuri dan pada gilirannya diberikan jawaban secara mendalam melalui pendekatan agama.
Akhirnya, Fikih Informasi ini sesungguhnya adalah upaya Muhammadiyah untuk berkontribusi bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Alih-alih ikut meramaikan debat tak berkesudahan yang seringkali kita lihat di media sosial, Muhammadiyah lebih memilih jalur senyap, tanpa riuh tepuk tangan; mempersiapkan rumusan Fikih Informasi ini.
***
(Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat, Februari 2019)