Nasihat Rasulullah Tentang Keputusan Suatu Perkara: Tela’ah Suatu Hadis
*Penulis: Alya az-Zahra Salsabila, Mahasiswa Ilmu Hadis UAD
Hadis
عن عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ زَيْنَبَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهَا، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَّهُ سَمِعَ خُصُومَةً بِبَابِ حُجْرَتِهِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ: إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، وَإِنَّهُ يَأْتِينِي الْخَصْمُ، فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ، فَأَحْسِبَ أَنَّهُ صَادِقٌ فَأَقْضِي لَهُ بِذَلِكَ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ، فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ، فَلْيَأْخُذْهَا أَوْ لِيَتْرُكْهَا
Terjemahan:
Dari ‘Urwah bin Zubair, bahwa Zainab binti Abi Salamah menceritakan, Ummu Salamah, istri Nabi memberitahukannya tentang sebuah peristiwa yang diceritakan Nabi saw, bahwa ia -Nabi saw- pernah mendengar percekcokan di dekat pintu kamarnya. Karena itu, Ia keluar menemui pihak yang bertengkar itu. -setelah itu Nabi saw mendengar kesaksian dari dua pihak tersebut, lalu Nabi memutuskan perkara, lalu bersabda: “Sesungguhnya, tiak lah aku ini melainkan manusia, dan orang yang saling bersengketa datang menemuiku untuk memberikan keputusan. Bisa jadi di antara mereka ada yang lebih fasih berbicara dibanding yang lain, dalam pertimbanganku, ia adalah orang yang jujur sehingga aku memutuskan persengkataan tersebut berdasarkan pertimbangan itu. Maka, keputusan apa saja yang telah ku ambil yang berkaitan dengan hak seorang muslim, maka keputusan itu ibarat sepotong bagian dari neraka. Hendaknya itu dijalankan (kalau memang itu adalah kebenarannya), dan hendaknya ditinggalkan (kalau diketahui bahwa itu tidak tepat).
Penjelasan per-Kata
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ: kata basyar, berarti ciptaan. Maksud Nabi saw mengatakan adalah bahwa meskipun beliau adalah seorang Nabi, yang tentu memiliki kekhususan -seperti sifat ma’ṣūm- tetapi beliau adalah manusia yang tidak terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan yang memang sudah dijadikan batasan oleh Allah dalam penciptaan manusia. Di antaranya adalah ketidaktahuan atas perkara yang ghaib, seperti apa yang tersembunyi dalam hati seseorang.(Al-Asqalani, 598)
أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ: kata ablaga memiliki arti yang sama dengan kata alḥana yang berarti menyampaikan atau berdialog. (Ibn Battal, 243). Ulama merinci definisi dari kata balaga itu dengan beberapa penjelasan: a) penyampaian dengan ungkapan lisan yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam hati, b) penyampaian makna kepada orang lain dengan kalimat yang sempurna, c) penyampaikan dengan kalimat singkat yang mudah dipahami, d) menyampaian dengna kata yang ringkas namun penuh makna, e) penyampaian yang sesuai dengan tempat dan kondisinya. (al-Asqalani, 155). Berdasarkan makna kebahasaan ini, dapat diketahui bahwa ungkapan Nabi saw menunjukkan bahwa dalam persengkataan bisa jadi ada orang yang penjelasannya lebih artikulatif, argumentatif, mudah dipahami, yang semua itu menjadi faktor mudah diterimanya kesaksian dan penjelasannya yang bisa jadi tidak sesuai yang sebenarnya. Dalam konteks hari ini, bisa juga terjadi pada bukti-bukti suatu perkara yang bisa jadi bukti itu benar, atau hanya rekayasa.
قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ: secara bahasa ungkapan Nabi saw diartikan “potongan kecil dari neraka”. Ungkapan ini tentu adalah kiasan yang mengandung makna peringatan dan kehati-hatian. Dengan kalimat seperti ini, Nabi saw ingin menegaskan bahwa setiap keputusan atas suatu perkara ibarat “potongan api” yang harus digemggam secara hati-hati. Jangan sampai keputusan dari suatu perkara dipergunakan dengan cara yang salah. Seseorang yang mengetahui bahwa keputusan hakim atas perkaranya itu salah, maka dia harus menolak, meskipun dalam keputusan itu, dia adalah pihak yang diuntungkan.
Makna secara Global
Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, oleh Syaikh al-Utsaimin
Hadis ini merupakan dalil bahwa hakikatnya Rasulullah saw tidak terlepas dari fitrah kemanusiaannya yang tidak punya pengetahuan atas hal ghaib kecuali yang diberitahu langsung oleh Allah swt. Kalau beliau tahu dan mampu mengakses segala informasi ghaib, adalah sebuah keharusan dan kepastian Nabi saw akan memutuskan sesuai dengan pengetahuan itu (al-Utsaimin, 36.)
Hadis ini juga menunjukkan hukum bahwa hakim -selama telah melakukan proses yang benar untuk sampai pada sebuah putusan- tidaklah berdosa apabila memberikan keputusan yang memang tampak dalam persidangan. Hal ini pun sesuai dengan kaidah besar bahwa Allah tidak pernah membebani seseorang di luar dari batas kemampuannya. (ibid)
Fatḥ al-Bārī, oleh Ibn Hajar al-Asqalani
Hadis ini dijadikan dalil bagi pihak yang berpendapat bahwa Rasulullah saw diwajibkan untuk memutuskan sesuatu sesuai dengan apa yang tampak, meskipun kepiutusannya itu hakikatnya menyelesihi keputusan beliau (maksudnya, Ia bisa saja melalui wahyu tahu segala apa yang benar, namun tetap syariat mengharuskan beliau memutuskan perkara berdasarkan apa yang dapat dibuktikan, karena tindakan beliau itulah yang bisa diikuti oleh umatnya ke-depan). Dengan begitu maka, dalam Islam, keputusan-keputusan atas suatu kejadian harus dibangun di atas dasar pengakuan dan bukti. Jika suatu keputusan yang sudah didasari oleh pengakuan dan bukti yang ada ternyata menyelisihi apa yang benar, maka dalam keadaan ini, tidak dihukumi dosa. Selain itu, Hakim yang memutuskan berdasarkan pengakuan dan bukti lebih diterima daripada hanya sekedar ijtihad subjektif belaka.(al-Asqalani, 602-603)
Namun demikian, hadis ini hakikatnya juga menunjukkan dua hal. Pertama, sebisa mungkin untuk mengungkaplan apa yang disembunyikan tersangka. Kedua, Adapun sesuatu yang tersembunyi dan mustahil untuk diungkap manusia, maka tidak ada taklif atau beban syara’ dalam masalah itu. (al-Asqalani, 605).
Pendapat Para Ulama
Imam Syafi’i berpendapat, hadis ini menerangkan bahwa memutuskan perkara di antara manusia hendaknya didasarkandari apa yang didengar dari kedua belah pihak secara adil dan objektif. Meskipun, ternyata apa yang mereka katakan berbeda dengan apa yang berbunyi dalam hati, tetap keputusan tidak boleh diberikan kecuali berdasarkan kesaksian secara verbal. (al-Asqalani, 604)
Sementara Ibn as-Sam’ani lebih melihat bahwa perlu menempatkan hadis ini sesuai pada tempatnya. Yaitu, kesaksian memang menjadi salah satu alat bukti, tetapi bukti ini juga harus dibuktikan. Kalau sebuah kesaksian yang dijadikan bukti ternyata palsu maka dalil ini tidak berlaku secara tekstual. Sehingga keputusan hakim tidak boleh berdasarkan kesaksian yang terbukti paslu tadi. Sebab, fungsi kesaksian adalah menampakkan kebenaran. Jika, kesaksian justru menutupi kebenaran, maka kesaksian tidak berjalan sesuai fungsinya. (al-Asqalani, 611).
Sekelompok ulama Hanafi
Hadis ini hakikatnya berlaku pada keadaan khususnya, yaitu ketika tidak ada bukti lain yang lebih kuat dan tidak ada kesempatan untuk mengambil sumpah atas sebuah kesaksian. Karenanya, ungkapan Nabi “barangsiapa yang aku putuskan padanya” adalah kalimat kunci untuk memahami hadis ini yang sekaligus menjadi syarat yang bermaksud sebagai peringatan dan pencegahan agar orang beriman tidak menjerumuskan diri dari mengambil hak orang lain dengan modal kefasihan berbicara (al-Asqalani, 606).
Kesimpulan
- Orang yang memiliki perkara batil lalu dia memenangkannya berdasarkan faktor-faktor yang tampak saja, maka yang didapatkannya berhukum haram.
- Orang yang mengklaim memiliki hak terhadap sesuatu namun tidak memiliki bukti, lalu pihak yang tergugat bersumpah dan hakim memenangkan tergugat karena sumpahnya, maka hal tersebut diperbolehkan karena manusia tidak dapat melihat apa yang ada di dalam batinnya.
- Siapa pun yang melakukan tipu daya untuk perkara yang batil dengan cara apa pun hingga dianggap benar secara lahiriyah, jika dimenangkan karena sebab itu, maka dia tidak halal secara batin, dan berdosa karena keputusan tersebut.
- Seorang mujtahid bisa saja keliru, karena dia hanyalah manusia biasa yang hanya dapat menilai secara apa yang tampak. Dia tetap mendapatkan pahala dan tidak berdosa atas keadilannya.
- Hendaknya hakim berpegang teguh kepada pandangan dan pendapat yang kuat untuk membangun hukum di atasnya. Begitulah yang disepakati oleh hakim dan mufti