Dinamika Studi Hadis Kontemporer: Prospek dan Tantangan Kajian Studi Manuskrip Hadis
Selasa, 20 April 2021, Prodi Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan menyelenggarakan kuliah umum dengan mengambil tajuk “Dinamika Studi Hadis Kontemporer: Prospek dan Tantangan Kajian Studi Manuskrip Hadis. Kuliah umum yang diselenggarakan secara daring ini tidak hanya dihadiri oleh para mahasiswa Prodi Ilmu Hadis dan segenap citivas akademia UAD, tetapi juga oleh berbagai pihak di luar UAD baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Adapun yang menjadi pembacara pada kegiatan internasional ini adalah Prof. Dr. Muhammad Mustaqim bin Mohammad Zarif, seorang guru besar dan sedikit di antara tokoh pakar manuskrip nusantara di Alam Melayu. sebagai pembicara kedua, ialah Dr. Nurkholis M.Ag, Dekan Fakultas Pendidikan Agama Islam sekaligus Dosen senior di Prodi Ilmu Hadis UAD.
Drs. Parjiman, M.Ag selaku Wakil Rektor Bidang Al-Islam dan Kemuhammadiyahan mengapresiasi penyelenggaraan kuliah umum yang diinisiasio oleh prodi Ilmu Hadis ini. Baginya, wacana keagamaan dan keislaman sebagai suatu dinamika keilmuan harus terus dilakukan. Dosen senior pada prodi Ilmu Hadis ini juga memotivasi pada mahasiswa dan peserta yang hadir agar terus giat belajar dan mengasah keilmuan, agar menjadi kader-kader persyarikatan yang tangguh.
Sambutan kedua disampaikan oleh Kaprodi Ilmu Hadis FAI UAD, Jannatul Husna Ph.D. Dalam sambutannya itu, ia menyampaikan bahwa dewasa ini kajian Ilmu hadis di wilayah nusantara mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Tren kemajuan itu dimulai pada masa enam puluhan di mana kajian ilmu hadis masih di bawah payung besar fakultas Syariah, hingga sampai pada tahun 2014, kajian hadis dipisahkan dari ilmu al-Quran dan hal itu memberikan perubahan besar terhadap diskursus hadis ke depan.
Mengutip pernyataan Syuhudi Ismail, proyeksi keilmuan hadis di era sekarang telah sampai pada persinggungan antara kemajuan studi hadis dengan perkembangan dunia digital. Dalam bahasa Syuhudi -sebagaimana yang disebutkan Jannatul Husna- bahwa ke depan, kajian hadis akan mengalami “komputerisasi”. Menyambut hal itu, prodi Ilmu hadis sendiri memberikan beberapa mata kuliah yang menguatkan skill digitalisasi hadis sebagai bekal mahasiswa menghadapi tantangan masa depan.
Di balik dari trend digitalisasi hadis ini, perlu juga diperhatikan kajian manuskrip yang semakin lama semakin jarang digeluti. Pakar tokoh-tokoh hadis Nusantara ini menyebutkan bahwa semakin sedikitnya diskursus filologi hadis berbanding lurus dengan semakin sedikitnya kajian manuskrip di Indoensia termasuk juga wacana studi hadis dalam kultur keilmuan bahkan pada tingkat universitas. Latar-belakang inilah yang menjadi faktor diadakannya Kuliah Umum ini.
Meski beberapa saat, terjadi kendala kecil teknis, Kuliah Umum berjalan lancar dan kondusif. Sebagai moderator, Niki Alma Febriana Fauzi mengawali pembahasan dengan menggambarkan tradisi studi hadis yang berkembang semenjak akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Sekprodi ilmu hadis ini menyebutkan tesis Ahmad el-Syamsi melalui bukunya Rediscovering islamic History bahwa pada masa tersebut umat Islam berada pada masa Skolatisisme yaitu masa di mana rujukan-rujukan primer para cendekiawan lebih kepada kitab-kitab bergenre Syarh dan Hasyiah. Hal itu dibuktikan dengan realitas bahwa beberapa ulama kontemporer, seperti Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, selain mereka sebagai mujaddid dengan membawa pikiran-pikiran baru, juga sekaligus para muhaqqiq, para editor yang berperan menghadirkan manuskrip agar bisa diakses umat Islam secara global.
Selanjutnya, Professor Muhammad Mustaqim bin Muhammad Zarif, sebagai pembicara pertama menekankan kepada urgensi kajian manuskrip, dan prospek serta tantangan kajian ini di dunia sekarang. Peneliti Oxvord Center for Islamic Studies, United Kingdom ini di awal menyatakan bahwa manuskrip yang lebih dikenal dengan naskah kuno yang memuat nilai budaya dan ilmu dewasa ini manjadi salah satu objek kajian yang semakin terbatas. Selain melanjutkan tesis yang disebutkan oleh Niki Alma mengenai abad Skolatisisme, pakar Filologi Nusantara ini juga memaparkan beberapa kitab rujukan ensiklopedi seperti Kasyf al-Zhunun yang dianggap begitu komplit sebagai sebuah sumber, padahal kitab ini hanya memuat sekitar 15 ribuan judul kitab. Hal itu, menurutnya, secara sederhana, menunjukkan sedikitnya pengetahuan atas kekayaan manuskrip.
Padahal, menurutnya, kajian Manuskrip menempati posisi strategis dalam kajian keilmuan secara umum. Urgensi kajian manuskrip dapat dilihat dari beberapa fakta. Pertama, bahwa integritas suatu keilmuan, begitu pula kredibiltas suatu kitab itu bergantung kepada kualitas kajian manuskrip ataas keilmuan atau atas kitab tersebut. Fakta kedua, meskipun telah banyak manuskrip yang ditahqiq dan ditampilkan dalam keadaan cetak yang bisa diakses, namun pada kenyataaannya cetakan itu tidak lepas dari kekurangan. Kekurangan itu bisa di latar belakangi oleh kesalahan muhaqqiq seperti pada penulisan beberapa nama guru-guru Ibn Mubarak yang terbalik dalam kitab Tahdzibul Kamal fi Asma ar-Rijal, bisa juga kekurangan itu disengaja oleh Muhaqqiq, baik karena kepentingan ekonomi (tahqiq at-tijari) ataupun kepentingan ideologi.Dengan semakin digiatkannya kajian manuskrip maka problem yang mendasari kekurangan di atas akan bisa diminimalkan.
Urgensi kajian manuskrip, khususnya di daerah Nusantara juga dapat dilihat dari sumbangsih kajian ini dalam menemukan kekayaan naskah-naskah kuno. Misalnya saja dari hasil kajian mansukrip, ditemukanlah naskah hadis paling tertua yang ditulis oleh Nuruddin al-raniri dengan judul al-Fawa’id al-Bahiyyah li Ahadit an-Nabawiyyah yang memuat 831 hadis. Buku ini diperkirakan ditulis pada abad ke 17. Selain berfungsi discovering, kajian manuskrip juga berguna untuk memvalidasi sebuah manuskrip. Sebagai bukti nyata adalah hasil penelitian yang menjadi disertasi penulis ketika meneliti kitab Lubab al-Hadis yang dinisbatkan kepada Jalaluddin as-Shuyuti. Berdasarkan penelitian manuskrip yang dilakukan oleh Prof. Mustaqim, ternyata kitab tersebut tidak mungkin ditulis oleh as-Suyuthi karena ulama ini wafat lahir pada tahun 14 ratusan, sementara naskah tertua dari kitab ini terdapat di Mesir, tepatnya masjid Sayyidah Zainab dan diperkirakan merupakan naskah kuno yang telah ada pada masa 13011.
Melanjutnya pembahasan pertama, Dr, Nurkholis M.Ag lebih mengerucutkan pada pembahasan tren kajian keilmuan hadis yang berkembang di Indonesia, khususnya pada tataran pendidikan tinggi. Pakar hadis yang pernah dinobatkan sebagai dosen berprestasi tahun 2006 ini menjelaskan bahwa sebelum tahun 1900-an hadis belum masuk di kirikulum pendidikan sebagai sebuah keilmuan yang wajib dipelajari secara formal. Ilmu hadis baru masuk di dunia pendidikan khususnya di pesantren baru masuk pada awal 1900 hingga 1960. Berkembang lagi pada tahun 2000an, kajian hadis sudah dapat masuk dan menjadi salah satu materi dalam kurikulum di perguruan tinggi pada tingkat sarjana dan pasca sarjana. Kematangan sudi hadis semakin signifikan pada tahun 2014 ketika jurusan tafsir hadis dipisah menjadi ilmu al-Quran dan Ilmu Hadis. Dengan begitu, studi hadis telah menjadi sebuah studi yang independen. Hal itu kemudian memberikan pengaruh pada terbentuknya Asosiasi Ilmu Hadis (ASILHA) pada tahun 2016.
Tren kajian hadis di Indonesia, menurut Dekan Fai UAD ini juga dapat dilihat dari berbagai karya dan karakteristik kajian hadis. Berbagai karya dapat dilihat dari buku-buku yang beredar dan banyak ditulis oleh ahli hadis di Indonesia. Seperti Muhammad Zuhri dan Syuhudi Ismail yang banyak menulis kajian hadis yang lebih spesifik pada metode otentifikasi hadis baik sanad maupun matan dan metode memahami hadis. Adapun tokoh yang mencoba menulis kajian hadis yang bersifat tematis, salah satunya adalah Nizar Ali dengan salah satu karyanya yang berjudul Menembus Lailatul Qadar, Perdebatan Interpretasi Hadis Tekstual dan KOntekstual. Beberapa tokoh alumni luar negeri seperti Kamaruddin Amin dan Fuad Jabali juga menulis kajian hadis namun lebih spesifik kepada studi hadis dengan metode-metode yang digunakan di dunia Barat.
Dilihat dari segi karakternya, Dr. Nurkholis melihat, bahwa kajian studi hadis di Indonesia terfregmentasi pada beberapa topik, di antaranya adalah studi orientalisme hadis dan studi tokoh-tokoh hadis. Senada dengan pembicara pertama, dosen yang juga diamanahkan sebagai ketua takmir Islamic Center UAD, mengamini bahwa kajian manuskrip hadis di Indonesia masih minim dan masih perlu dikembangkan
Kontributor: Qaem Aulassyahied